Menjelang lebaran 2016 teh Astri istri A Irfan berkirim pesan via messenger. Kuceritakan kondisi Mamah dan Bi Ara hari itu, "Ade, kami nanti kesana ya!" Namun qodarullah hari itu kami masih di Ciseupan jadi tidak sempat bertemu teteh yang berteman dan saling menyapa di media sosialnya sudah agak lama namun baru awal 2016 tahu bahwa ternyata beliau adalah saudara, itupun beliau yang menyapa lebih dulu, "De Defa, ternyata Kita sepupu. Suami saya anak ke-5 Mamah Ai dari Cimanggu?" MasyaAllah.. sejak itu kami intens saling menyapa dan berbagi kabar. Sesibuk apapun, aku tahu pasti kesibukannya dan agenda yang sangat padat, selalu terselip doa melalui pesan WA, "Ade, semoga Bibi dan keluarga di sana selalu diberikan kesehatan dan keberkahan. Semoga suatu saat kami bisa kembali berkunjung."
Bagi seorang anak, saat ada yang bertanya dan mendoakan ibunya, itu menjadi suatu kebahagiaan tersendiri.
Dan bagi seorang ibu, syukur yang sangat saat ada yang bertanya kabar anandanya.
"De Defa, Aa Quthb sekarang mondok dimana?" Waktu itu Aa baru masuk SMA dan beliau menawarkan untuk membiayai penuh Pendidikan Aa di pondok karena waktu itu beliau tahu Aa ingin mondok. Saya sampaikan ucapan terimakasih dan permintaan maaf karena Aa masuk SMA dengan amanah quota prestasi jadi tidak bisa pindah karena amanah tersebut.
Beberapa tahun kemudian Aufa kecil baru masuk usia 11 tahun dan duduk di bangku kelas 6 MI, "kalau de Aufa mondok di Mafaza , jangan pikirkan biayanya ya Ade!
Aufa tentu saja gembira karena sangat ingin mondok, tapi kami hanyalah orang tua dengan hati yang masih saja lemah melepas ananda mondok di usia SD. Lalu teteh menawarkan kembali saat Aufa mau masuk SMP dan SMA hingga kalau mau kuliah di Bogor bisa berangkat dari Mafaza karena teteh tahu Aufa senang dengan lingkungan dimana Al Qur'an senantiasa bergema.
Beliau, teteh dan A Irfan yang belum pernah sekalipun berjumpa ananda namun selalu saja membanggakan ananda, bertanya apa yang dibutuhkan Aufa dan bagaimana perkembangan pendidikan dan hafalan Aufa atau bagaimana kabar Aufa dan saudara-saudaranya. MasyaAllah itu sangat membahagiakan bagi ibu..
Suatu hari Allah uji kita semua dengan berita covid. Kami menjadi orang tua yang kebingungan karena entah seperti apa kabar di Bogor sedangkan ananda di sana. Resah menyapa erat, derasnya airmata tak terhitung, hendak meminta bantuan entah pada siapa hanya tahu bahwa kami bisa mengetuk pintu Nya , "ya Allah, bantu kami..ya Allah bantu kami." Diantara derasnya Isak dan sesaknya dada qodarullah biidznillah dua pesan WA masuk,"Ade, bagaimana kabar teteh Aufa? Mau di jemput kah? Kalau mau di jemput, kami akan menjemputnya dan kami antar ke Tasik!" MasyaAllah laa haula walaa quwwata illaa Billah. Maaata Nashrullah? Inna Nashrullah qoriiib, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat namun seringnya kita enggan melihat pertolongan Allah sebagai pertolongan.
Saya tidak pernah memberitahukan beliau tentang kekhawatiran kami atau rencana menjemput ananda.
"Ade, Aa tiasa nyarios sareung kang Wawan perkawis prosedur penjemputan Aufa?" Episode penjemputan pun dimulai dengan dramatis. Perjalanan jauh dari Kemang ke Cirangkong tidak membuahkan hasil karena Ananda tidak bisa di jemput kecuali oleh orang tuanya. Bahkan bertemu pun tidak bisa karena ketatnya pengamanan waktu itu.
Qodarullah Aufa tidak pernah bertemu Uwa yang membuatnya berharap bisa seperti beliau, "Ahlul Qur'an."
"Ummi, saur A Irfan ngkin wae dikintun mobil kadieu kanggo ngajemput Abi kanggo angkat ka Bogor. Saur A Irfan teh sopirnya Bade ku saha?" Waktu itu kendala selanjutnya adalah sopir. Wa Totong yang siap mengantar tapi tidak memiliki SIM, "Mi, A Irfan ngintunkeun Mobil sekaligus sopirnya."
MasyaAllah .. jika ada yang bertanya apa yang dirasakan? Tentu saja speechless, tapi fokusnya waktu itu bagaimana agar Aufa bisa pulang dulu. Jadi tidak terpikirkan malu atau bagaimana kami bersikap dengan bantuan tersebut..
Mobil dan sopir tiba dengan sekarung besar beras. Amplop berisi lembaran uang hingga semua akomodasi selama perjalanan disiapkan beliau.
MasyaAllah semoga Allah ganti dengan yang lebih baik.
"Aa, teteh, boleh saya titipkan anak-anak Jang Dali, adik kami , Barra dan Huzaifah untuk belajar di Al Hikmah?"
"MasyaAllah mangga pisan Ade. Usianya berapa tahun? Mau masuk yang sekarang atau tahun ajaran baru?" Hari itu hari pertama (dan terakhir) kami bertemu dan berbicara tentang banyaknya cita-cita dan pendidikan anak.
"Ade sakit apa?" Saya menangis mengingat pertanyaan ini. Diantara banyaknya hidangan yang disiapkan saat kami ke sana serta penginapan yang tlah disiapkan, beliau masih ingat.. apa kabar adik sepupu jauh yang baru ditemuinya.
Ini sebagian ingatan yang akan menjadi bagian dari doa yang terpanjat. Semoga setiap kebaikan menjadi ladang jariyah yang pahalanya tak terputus bahkan saat beliau tlah terbujur di bawah tumpukan tanah.
Balananjeur, 15 September 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar