Tok....tok...tok....
Terdengar ketukan dipintu kelas di ruangan tempatku belajar kamis itu.
Ketukan pintu yang rutin kami dengar setiap jam 9 pagi dihari kamis.
“Assalamu’alaikum.” Ucapnya sambil membuka sedikit pintu kelas
“Wa’alaikum salam warohmatullohi wa barokaatuh.” Jawab kami serempak
“De, ada Apa.” Bisik teman sebangkuku.
“iya..” Jawabku pelan, dengan sedikit menahan malu
“Dede, ada Apa.” Ucap guru bahasa indonesiaku, Bu Euis sambil merapihkan kerudung hitam dan membersihkannya dari debu kapur.
“De, lagi belajar? Sok belajar yang baik..! Apa Cuma mau nengok. Apa sekarang mau pergi lagi.”
Saya mengangguk mengiyakan ucapan Apa. ...tanpa sedikitpun kata, karena waktu itu saya malu Apa hampir setiap kamis datang ke sekolah, ke kelas saya dan mengatakan kata-kata yang kurang lebih sama setiap kamisnya.
ingin sekali mengatakan pada Apa, “Apa please, jangan datang lagi ke kelas untuk sekedar menyapaku. Saya malu.”
Tapi saya tak pernah benar-benar mengatakannya.
Kami hanya bisa melihat dan merasakan kehadiran Apa 2 hari setiap minggu, yaitu kamis dan jum’at, jadi bagaimana saya berani mengucapkan kata-kata seperti itu?? Bahkan meski saya sangat ingin mengatakannya.
“tidak masuk dulu, pak?”ujar bu Euis
“tidak, terima kasih sudah menjaga putri saya, bu guru. Saya pamit dulu, mau ke mang unung. Assalamu’alaikum.’'
(mang unung atau aki unung adalah pemilik yayasan tempat saya belajar selama 2 tahun di tingkat madrasah tsanawiyah)
Kamis selanjutnya dan selanjutnya lagi, selama hampir dua tahun saya sekolah di mts yang ada di pagerageung itu, ketukan pintu dihari kamis itu terus berulang.
Guru bahasa indonesia saya mengatakan bahwa saya anak yang beruntung karena memiliki ayah yang perhatian, tapi saya kurang mensyukuri dan menganggap kehadiran Apa sebagai sebuah beban.
Hingga tiba hari kamis pertengahan agustus 1998, tak ada ketukan pintu dan ucapan salam serta kata tanya dan sebuah pesan yang sering saya anggap beban pada masanya itu...
Tak ada senyum hangat itu...
Saya merindukannya dan bertanya-tanya, “kemana Apa? Apakah Apa baik-baik saja.”
Saya mulai khawatir, saya takut tidak bisa mendengar lagi ketukan pintu dan sapa rutin disertai senyuman tulus Apa...
Saya mulai gelisah jika perhatian itu benar-benar menghilang..
Sampai hari menjelang siang, tak ada tanda-tanda kehadiran Apa. Saya akhirnya menyadari, saya mulai merasakan arti kehilangan...
Saya merasa sangat kehilangan sapa yang hampir 2 tahun lebih saya dapat di jam 9 hari kamis saat pelajaran bahasa indonesia..
Dan ternyata, itu awal dari kisah panjang rasa kehilangan saya.
Karena hari-hari selanjutnya, bukan hanya hari kamis, bahkan tak ada lagi dering telephon di sepertiga malam, tak ada lagi Apa membangunkan sepertiga malam kami... di hari-hari selanjutnya sepanjang sisa usia saya...
Sejak hari itu, tak ada lagi senyum Apa yang membelai lembut rambutku saat saya sakit...
Beban atas sapa rutin apa kemudian berganti sedih, rindu dan penyesalan. Hhh... bukan penyesalan mungkin, jika ia datang di awal...
Akhirnya, saya benar-benar kehilangan setiap moment bersama Apa. Moment yang jarang kami nikmati lenyap berganti kenangan yang di hiasi derai airmata dan do’a setelahnya,”allohummaghfirlahuu warhamhuu wa’aafihii wa’fu ‘anhu. Wa akrim nuzulahuu wawassi’ mdkholahuu.”
Kami jarang bertemu Apa. Hanya setiap kamis dan jum’at kami bisa bertemu apa, itupun tidak lama. Namun meski begitu, Apa sangat sering menelphon Mamah untuk mengecek keadaan kami. Bukan sehari sekali, tapi hampir 6 kali dalam sehari.
Sedih? Waktu itu iya. Tapi setelah saya tahu kegiatan-kegiatan Apa, bukan sedih lagi yang tersimpan di hati. Tapi, perasaan kagum yang tak terlukiskan kata.
Kagum pada sosok luar biasa yang mencintai keluarga dengan bahasa yang luar biasa.
Karena hari kamis pun, kami jarang bertemu. Ketukan dan sapa di hari kamis itu menjadi sarana kami untuk berdialog meski dalam diamku. Membuat saya mengerti, bahwa Apa benar-benar ada dan memperhatikan kami, menyayangi kami.... meski hanya lewat sebuah ketukan, dan sapaan di hari kamis yang selalu apa lakukan.
Apa seolah mengatakan, "Apa selalu ada untuk kalian.” Namun, kesadaran itu hadir justru daat Apa telah tiada..
dan saya mulai menitikkan air mata kembali karenanya, karena terlambat menyadari arti perhatian Apa, yang saya yakini tak dilakukan ayah-ayah lain dimanapun.
Akhir-akhir ini, ramai di ceritakan tentang konsep fathering itu seperti ini lah, harus seperti itu lah... tentang quantity time dsb. Kami tak memiliki banyak waktu bersama Apa, tapi bagi kami, kesibukan yang menyita sebagian banyak waktu Apa bukanlah beban yang membuat kami seolah tidak memiliki ayah. Beliau tetap hadir melalui do’a-do’anya, beliau hadir disaat-saat penting kami, beliau tetap memantau perkembangan kami.
Apa tetap meluangkan waktunya dan menyengajakan diri pulang ke Tasik saat ada rapat orangtua di sekolahku, Apa meluangkan malam ahad di awal bulan untuk menemani kami menginap di masjid alfurqon saat kami ada kegiatan SII (study islam intensif), Apa berusaha sebaik-baiknya memberikan kami waktu berkualitas saat kami berkumpul meski kami harus menyadari artinya setelah kepergian Apa.
Apa memberikan kami pembiasaan-pembiasaan yang baik dan teladan yang tak bisa di hargakan dengan apapun saja. Dan Apa melakukan fathering yang luar biasa tanpa teriak-teriak pada orang lain bahwa beliau sedang berusaha menjadi sebaik-baik ayah bagi kami.
Kini, saya tak lagi merasakan kehilangan yang sangat seperti saat dulu lagi. Saya bisa selalu tersenyum mengingatnya, mengingat ketukan dan ucapan Apa serta berbagai kejadian yang membuat saya mulai mengenal apa dari sudut pandang yang lain.
Akhirnya, benarlah kata ibu guru bahasa indonesia saya, bahwa saya beruntung memiliki ayah seperti Apa. Yang meluangkan waktu untuk sekedar bertanya keadaan saya melalui pintu kelas dengan senyum yang sampai hari ini masih melekat di ingatan.
“Alhamdulillah. Terima kasih Apa. Semoga kelak Allah ta'ala menyapamu dengan sapaan terbaik.”
“Hatur nuhun Apa, untuk dua tahun ketukan dan ucap salam di pintu kelasku. “
* Apa : panggilan saya untuk Ayah kami
Tidak ada komentar:
Posting Komentar