Senin, 25 September 2023

Masih Nagih

"Seneng dooong? Pastinya. Tapi masih kepikiran juga sih gimana kalau bulan depan masih ada yang nagih alias belum merasa hutangnya sudah lunas soalnya kelihatannya di pihak sana nggak ada catatan sama sekali, buktinya kalau udah Nerima uang teh yaaa udah go aja nggak ada acara catat mencatat. Eh tapi siapa tahu kayak saya yang mencatatnya kalau sudah masuk rumah, jadi kalau sudah muamalah baru lah di catat. Hanya masih ada kekhawatiran juga sih, soalnya dulu juga catatannya jadi gejlog alias di saya mah berapa tapi di sana lebih besar dari itu." Paragraf ke-2 dari catatan sebelumnya  Lunas terkait hutang yang tiba-tiba benar-benar terjadi. Ternyata memang masih nagih, dan pastinya ternyata memang tidak di catat. Oallaaah saya pun sedang di buat bingung menghadapinya.

Hmm sebenarnya sih mudah saja ya, tinggal temui dan perlihatkan catatan. Tapi, tidak semudah itu ternyata.. ada beban hati yang bernama KASIHAN yang ikut bermain dalam pusaran, jadi kebayang dong gimana kalau akhirnya saya menemui dia? Sangat mungkin untuk ngagolosorkeun uang tanpa bilang, "De, kan udah lunas, ini catatannya." 

"Inilah sebab ummi bisa menjadi sumber passive income nya orang lain, masih ada rasa nggak enakan. Kasihan itu bermula dari rasa nggak enakan." Kalimat ini membuat saya tersadar, ada yang harus saya ubah dari diri sendiri karena ini tidak akan hanya merugikan diri tapi juga terutama orang-orang yang saya sayangi. 

Yups, hadapi !

Eh kemarin juga bukannya tidak mau menghadapi, tapi kali pertama dia datang ke rumah saat saya dalam kondisi sakit dan bahkan untuk bangun saja sulit apalagi ngbukain pintu dan menjelaskan sudah usainya masa muamalah terkait utang piutang ini 
Yang kedua waktu saya sedang tidak berada di rumah.

Thats why, cuma masih ada perasaan, "kok masih ya? Emang nggak di catat? Jadi ingat bagaimana hutang sebanyak itu tiba-tiba ada.

Balananjeur, Selasa, 26 Oktober 2023

Minggu, 24 September 2023

Tiga Minggu yang Luar Biasa

Awalnya ingin menulis perbagian tapi khawatir tidak tuntas jadi akhirnya dituliskan saja keseluruhannya di sini.

Minggu Pertama

Hari Rabu masih awal September pulang dari sekolahnya jam 5 lebih 15 menit, langsung berangkat menuju kajian di rumah Bu Enur. Sampai ke rumah Bu Enur teh langsung nangis di peluk Bu Enur, saya bingung nangis kenapa atau karena apa. Pokoknya pengen nangis aja. Dibikinin teh manis panas trus ngobrol banyak sama beliau di ruang tamu saat yang lain masih kajian. 

Bu Hj Uun mendekati dan memeluk lalu kami ngobrol bertiga, saya ditanya perihal yang membuat saya menangis. Ah saya tidak berniat menuliskan alasannya di sini 😁 meski sebenarnya saya juga cukup bingung, apa sih yang membuat saya menangis. Trus diuraikan sebab terdekat yang boleh jadi mungkin itulah alasan tangis saya. Hmm agak sangsi juga sih dengan alasan itu, tapi saya butuh sharing juga terkait itu jadi yaa akhirnya itulah yang kemudian kami bahas. 

Tuntas satu persoalan, sebenarnya menangis yang membuat saya merasa ngemplong. Lalu lanjut shalat Maghrib berjamaah, kajian , makan dan rapat pra musycab. Waktu mau rapat teh udah kerasa ada yang nggak nyaman di tubuh. Well, saya paham banget dengan alarm tubuh saya sendiri. Saya merasa akan drop again.. akhirnya bukannya ikut rapat malah ketiduran di paha nya kang Wawan 😂 emang niat banget ya tidur di sana, soalnya udah ngantuk berat sama itulah tempat ternyaman buat tidur kalau nggak ada bantal.

Sepanjang perjalanan sudah tidak bisa berkomunikasi dengan kang Wawan meskipun beliau berulang kali bertanya ini dan itu, saya hanya diam karena otak sudah mulai unconnected, nglag aja. Sampai kang Wawan berpikir kalau saya sedang marah padahal saya sedang tidak marah, hanya saja saya terlambat menyadari kalau tubuh teh sudah ngasih alarm buat diam dulu sejak beberapa hari sebelumnya namun saya keukeuh merasa ah ini mah nggak bakalan lama.

Pulang ke rumah dengan kondisi tenaga seolah terkuras habis, langsung ambruk pas depan pintu kamar teh lanjut ngesot ke tempat tidur dan lep puleees banget. 

Besoknya otak sudah mulai connect lagi tapi tubuh terasa remuk dan sakit, tidak lupa memar di dada dan kaki kiri yang kalau di sentuh teh sakit banget. Saya pun katakan pada kang Wawan bahwa hari itu tidak bisa berangkat ke sekolah karena tidak kuat. Mual muntah kayak morning sickness Weh, lemas sangat. Dan entah kenapa setiap kali saya sakit, ponsel saya pun ikut-ikutan mati 😂

Saya pikir hanya akan tumbang satu hari, subhanallah ternyata sampai Minggu selanjutnya masih harus menjadi rebaher yang manis karena gejala sakitnya yang bertambah aktif.

Minggu ke-dua

Masih struggling dengan kisah yang sama. Alhamdulillah kang Wawan sangat aware dan help me banyak hal, mulai dari mencuci, menjemur, mengangkat jemuran dan menyiapkan makanan buat saya yang sedang kesulitan bahkan untuk memenuhi hajat sendiri. 

Minggu ke-tiga

Hari Senin sampai Rabu sudah mulai bisa berangkat ke Sekolah, tapi hari Rabu teh sudah mulai ada gejala lagi. Gejala apa? Yaah seperti biasa, tubuh yang terasa remuk, dada yang sakit dan sesak. MasyaAllah luar biasa nya Allah mengingatkan. Saya seperti sedang diingatkan bahwa sebaik apapun kita saat merencanakan sesuatu. Ada yang jauh lebih berkuasa membuatnya terwujud ataukah tidak, dialah Allah yang Maha berkehendak.

Qodarullah wamaa syafa'ala de Olin demam tinggi, kami membawanya ke rumah untuk merawatnya. Pasien merawat pasien? Yups, bagi seorang ibu, itu adalah hal yang biasa. Yaah biasa terjadi maksudnya. Dan maha baiknya Allah, biasanya tubuh ibu merespon dengan tidak lagi merasakan sakit saat anak dirasakan sedang membutuhkannya.

Kami membawa de Olin ke dokter Wildan, subhanallah panasnya sampai 39 derajat. Saya sendiri diperiksa, pantas saja kleyengan soalnya tekanan darahnya rendah banget, dibawah normal.

Drama Minum Obat 

Oh wait, de Olin kan nggak bisa minum obat.. sampai lupa request obat sirup buat Ade. Sejak kecil dia memang nggak makan obat, maksud saya bahkan saat sakit pun nggak pernah sampai minum obat.

Pernah ketika masih kecil, sekitar usia 3 tahun an auto kabur ke rumah mamah karena saya mau meminumkan madu Syamil untuknya. Hanya karena dia tahu madu itu untuk obatnya jadi dia langsung lari, karena hari sudah malam diapun kembali ke rumah lalu berlindung dibalik punggung tetehnya untuk menghindari minum obat.

So, how with hari ini? Tiba-tiba saya merasa beruntung pernah punya cita-cita jadi dokter 😂 jadi bisa lebih tenang saat harus merawat pasien teh. Hmm apa hubungannya ya? 🤭🤔 Nggak ada sih, hanya ingin menulis saja. Eh tapi ternyata punya cita-cita saja tidak terlalu berpengaruh, saya tetap kesulitan membuat ananda mau minum obat. Meski sudah dijadikan puyer dibuat ini dan itu, dia tetap kesulitan minum obat. Well, nyerah dong? No, menyerah itu bukan aku. Hee ini slogannya teh Pipit ya 😁 but really, menyerah itu bukan aku. Kalau dia nggak bisa minum obat yang diresepkan dokter maka saya harus berikhtiar dengan apa yang kira-kira familiar buat dia. Akhirnya diputuskanlah air kelapa mudah sebagai bentuk ikhtiar kita.

Finally, inilah obatnya. Laa Haula Walaa quwwata illa Billah, nanti Allah yang bantu sehatkan kembali. Alhamdulillah de Olin mau minum air kelapa muda.

Tampek

Ruam merah muncul di seluruh tubuhnya tanpa terkecuali. Apa yang dirasakan ibu? Sedih of course. Tapi naluriyah tidak boleh mengalahkan tugas ikhtiar. Maka bismillahirrahmanirrahim, Allah sedang memberikan saya tugas ini.

Penanganan

1. Istirahat yang banyak
2. Minum air dewegan, minum yang banyak


MasyaAllah pisan, it's very struggling and makes me sure that buat Allah nggak ada yang nggak mungkin. Allah sedang mengingatkan saya bahwa sematang apapun rencana tidak akan terjadi tanpa kehendak Allah. Kita hanya punya tugas untuk berdoa, berusaha dan pasrah. MasyaAllah, ternyata pasrah pada ketentuan Allah pun benar-benar bagian dari tugas kita

Balananjeur, Senin, 25 September 2023

Jumat, 15 September 2023

Sebagian Ingatanku tentang A Irfan

Ingatanku tentang beliau tidak banyak namun semuanya berkisah tentang kebaikan. MasyaAllah semoga Allah merahmati beliau.

Menjelang lebaran 2016 teh Astri istri A Irfan berkirim pesan via messenger. Kuceritakan kondisi Mamah dan Bi Ara hari itu, "Ade, kami nanti kesana ya!" Namun qodarullah hari itu kami masih di Ciseupan jadi tidak sempat bertemu teteh yang berteman dan saling menyapa di media sosialnya sudah agak lama namun baru awal 2016 tahu bahwa ternyata beliau adalah saudara, itupun beliau yang menyapa lebih dulu, "De Defa, ternyata Kita sepupu. Suami saya anak ke-5 Mamah Ai dari Cimanggu?" MasyaAllah.. sejak itu kami intens saling menyapa dan berbagi kabar. Sesibuk apapun, aku tahu pasti kesibukannya dan agenda yang sangat padat, selalu terselip doa melalui pesan WA, "Ade, semoga Bibi dan keluarga di sana selalu diberikan kesehatan dan keberkahan. Semoga suatu saat kami bisa kembali berkunjung."

Bagi seorang anak, saat ada yang bertanya dan mendoakan ibunya, itu menjadi suatu kebahagiaan tersendiri.
Dan bagi seorang ibu, syukur yang sangat saat ada yang bertanya kabar anandanya.

"De Defa, Aa Quthb sekarang mondok dimana?" Waktu itu Aa baru masuk SMA dan beliau menawarkan untuk membiayai penuh Pendidikan Aa di pondok karena waktu itu beliau tahu Aa ingin mondok. Saya sampaikan ucapan terimakasih dan permintaan maaf karena Aa masuk SMA dengan amanah quota prestasi jadi tidak bisa pindah karena amanah tersebut.

Beberapa tahun kemudian Aufa kecil baru masuk usia 11 tahun dan duduk di bangku kelas 6 MI, "kalau de Aufa mondok di Mafaza , jangan pikirkan biayanya ya Ade!

Aufa tentu saja gembira karena sangat ingin mondok, tapi kami hanyalah orang tua dengan hati yang masih saja lemah melepas ananda mondok di usia SD. Lalu teteh menawarkan kembali saat Aufa mau masuk SMP dan SMA hingga kalau mau kuliah di Bogor bisa berangkat dari Mafaza karena teteh tahu Aufa senang dengan lingkungan dimana Al Qur'an senantiasa bergema.

Beliau, teteh dan A Irfan yang belum pernah sekalipun berjumpa ananda namun selalu saja membanggakan ananda, bertanya apa yang dibutuhkan Aufa dan bagaimana perkembangan pendidikan dan hafalan Aufa atau bagaimana kabar Aufa dan saudara-saudaranya. MasyaAllah itu sangat membahagiakan bagi ibu..

Suatu hari Allah uji kita semua dengan berita covid. Kami menjadi orang tua yang kebingungan karena entah seperti apa kabar di Bogor sedangkan ananda di sana. Resah menyapa erat, derasnya airmata tak terhitung, hendak meminta bantuan entah pada siapa hanya tahu bahwa kami bisa mengetuk pintu Nya , "ya Allah, bantu kami..ya Allah bantu kami." Diantara derasnya Isak dan sesaknya dada qodarullah biidznillah dua pesan WA masuk,"Ade, bagaimana kabar teteh Aufa? Mau di jemput kah? Kalau mau di jemput, kami akan menjemputnya dan kami antar ke Tasik!" MasyaAllah laa haula walaa quwwata illaa Billah. Maaata Nashrullah? Inna Nashrullah qoriiib, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat namun seringnya kita enggan melihat pertolongan Allah sebagai pertolongan.

Saya tidak pernah memberitahukan beliau tentang kekhawatiran kami atau rencana menjemput ananda. 

"Ade, Aa tiasa nyarios sareung kang Wawan perkawis prosedur penjemputan Aufa?" Episode penjemputan pun dimulai dengan dramatis. Perjalanan jauh dari Kemang ke Cirangkong tidak membuahkan hasil karena Ananda tidak bisa di jemput kecuali oleh orang tuanya. Bahkan bertemu pun tidak bisa karena ketatnya pengamanan waktu itu. 

Qodarullah Aufa tidak pernah bertemu Uwa yang membuatnya berharap bisa seperti beliau, "Ahlul Qur'an."

"Ummi, saur A Irfan ngkin wae dikintun mobil kadieu kanggo ngajemput Abi kanggo angkat ka Bogor. Saur A Irfan teh sopirnya Bade ku saha?" Waktu itu kendala selanjutnya adalah sopir. Wa Totong yang siap mengantar tapi tidak memiliki SIM, "Mi, A Irfan ngintunkeun Mobil sekaligus sopirnya." 

MasyaAllah .. jika ada yang bertanya apa yang dirasakan? Tentu saja speechless, tapi fokusnya waktu itu bagaimana agar Aufa bisa pulang dulu. Jadi tidak terpikirkan malu atau bagaimana kami bersikap dengan bantuan tersebut..

Mobil dan sopir tiba dengan sekarung besar beras. Amplop berisi lembaran uang hingga semua akomodasi selama perjalanan disiapkan beliau.

MasyaAllah semoga Allah ganti dengan yang lebih baik.

"Aa, teteh, boleh saya titipkan anak-anak Jang Dali, adik kami , Barra dan Huzaifah untuk belajar di Al Hikmah?" 

"MasyaAllah mangga pisan Ade. Usianya berapa tahun? Mau masuk yang sekarang atau tahun ajaran baru?" Hari itu hari pertama (dan terakhir) kami bertemu dan berbicara tentang banyaknya cita-cita dan pendidikan anak.

"Ade sakit apa?" Saya menangis mengingat pertanyaan ini. Diantara banyaknya hidangan yang disiapkan saat kami ke sana serta penginapan yang tlah disiapkan, beliau masih ingat.. apa kabar adik sepupu jauh yang baru ditemuinya.

Ini sebagian ingatan yang akan menjadi bagian dari doa yang terpanjat. Semoga setiap kebaikan menjadi ladang jariyah yang pahalanya tak terputus bahkan saat beliau tlah terbujur di bawah tumpukan tanah.

Balananjeur, 15 September 2023

Minggu, 03 September 2023

Rumahku Bak Kapal Pecah

Saya ingin berbagi cerita tentang hari-hari yang telah berlalu, saat anak-anak kami masih kecil bagaimana rumah kami saat itu.

Rumah yang identik dengan kapal pecah, hingga pernah suatu hari ada kawan yang bertandang lalu kembali menyampaikan kepada orang lain di luar sana betapa pecahnya rumah kami dengan mainan yang berserakan di mana-mana. Oh no, jangan bayangkan rumah kami rapi kala itu. Dan untuk kalimat itu, saya menangis hanya karena suatu kalimat.

Pakaian yang sudah rapi di lemari kembali di acak-acak ananda, bagi saya itu bukan masalah besar meski kadang saya menghela nafas panjang karena letih, tapi ternyata satu kalimat yang terasa negatif membuat airmata luruh dan deras.

Dapur yang seolah enggan untuk rapi, cucian yang tidak ada habisnya, dan pastinya lantai yang lagi dan lagi kembali kotor bahkan setelah dibersihkan.

Saya membayangkan bahwa kelak semua itu akan menjadi momen yang dirindukan, namun ternyata satu komentar negatif saja mampu menjadi sesak, membuat sesak dan letih menjadi teramat sangat. Bukan hanya letih karena pekerjaan yang tiada habisnya, namun hanya karena sebuah kalimat, "ih rumah kok berantakan, nggak pernah diberesin?"

Ibu dengan beberapa balita di rumah akan paham bagaimana letih itu. Kami bahkan tidak tahu arti duduk sendirian sambil menikmati semilir angin, shalat kami sambil menggendong dan ditangisi anak, mandi pun terburu sambil ditunggui anak di luar kamar mandi, saat makan pun fokus menyuapi anak hingga kami lupa bahwa kami ternyata belum makan seharian

Saya sampaikan rasa letih pada suami, terutama letih karena komentar orang lain yang tidak tahu bagaimana saya melewatkan sepanjang hari, saya menangis saat itu dan suami pun menangis memeluk saya, beliau memeluk dan mengatakan, "ummi sudah melakukan yang terbaik. Maafkan abi membuat ummi menanggung lelah sendirian." Saya semakin tersedu, namun entah kenapa itu bukan lagi sedu letih seperti sebelumnya. Saya merasa difahami dan diberikan kekuatan dengan itu, MasyaAllah ternyata sebuah kalimat bisa berpotensi untuk menenangkan atau bahkan meruntuhkan

Hari-hari itu terasa berat pada masanya, namun satu hal lain yang masih saya ingat adalah bahwa suami saya bersedia menjadi truk sampah emosi saya. Beliau akan bertanya bagaimana kabar saya, apakah ada yang sedang ingin saya ceritakan lalu bersedia menyiapkan banyak waktu untuk mendengar suara hati saya. Saya tidak sendirian kala menjadi ibu, dan itu sangat membantu... Tentu saja rasa letih tidak ujug-ujug nggak pernah datang lagi, bukankah sangat manusiawi kalau kita berjumpa rasa letih karena hal apapun? Lalu menangis karenanya pun tetaplah hal yang wajar?

Hal lain lagi yang saya ingat adalah saya tidak menjawab komentar yang terasa tidak nyaman dari siapapun. Saya memilih diam bahkan meski hati saya menangis, aha dramatis sekali 😂 kenapa? Saya tetap meyakini bahwa bahkan satu kalimat pun yang didengar telinga ini tak akan pernah ada kecuali atas izin dan kehendak Allah, dan semua dari Allah itu pasti ada hikmahNya. Waktu itu meski merasa sedih sampai menangis tetap ingat ini, " kayaknya Allah sedang menempa atau mengingatkan agar..." Well, tetap sambil nangis 🤭

Lalu saya belajar beberapa hal:
1. Saya tidak akan mengomentari kondisi rumah orang lain, selain tidak ada urusannya dengan saya, pun sangat mungkin itu akan melukai orang lain.
2. Kala ada yang ingin bercerita tentang hatinya maka dengarkanlah! Boleh jadi diam mu dan kesediaanmu mendengar akan membantunya melerai gelisahnya
3. The power of ngobrolin apa saja sama suami. Jangan sungkan untuk berbagi suara hati atau ngobrolin apapun
4. Tidak setiap ucapan orang lain harus kita jawab, diam lebih menenangkan pada akhirnya
5. Kita tidak bisa mengatur kalimat yang bisa disampaikan atau tidak disampaikan orang lain untuk kita, namun kita bisa berusaha mengendalikan fikitan dan perasaan kita. Cukup fokus dengan yang bisa kita kendalikan, fokus kendalikan isi kepala dan hati kita daripada memikirkan apa yang mungkin dikatakan orang atau merasa tidak nyaman dengan ucapan orang.
6. Tidak apa-apa saat dikomentari, tugas selanjutnya adalah apakah kita akan overthinking dengan komentar tersebut ataukah akan mengabaikannya. Pilihan itu ada di tangan kita!
7. Kalimat itu kok nggak enak banget didengar ya? Iya sih nggak enak, tapi kabar baiknya adalah bahwa Allah tidak membiarkan kita hanya mendapat kalimat manis sepanjang usia kita. Jadi jika suatu hari mendengar kalimat yang terasa tidak mengenakkan kita nggak drop gegara itu, why? Ah dulu juga pernah dapat kalimat seperti itu. Alhamdulillah atas tempaan itu
8. Faham bagaimana riweuhnya ibu rumah tangga dengan segala pekerjaannya. Sebagai apapun ibu, bahkan sambil bekerja di luar rumah atau full at home dia tetaplah ibu.

Balananjeur, Senin, 4 September 2023

Hhhh