Minggu, 18 Juli 2021

Tiga Puluh Menit Aufa

Menunggu jadwal telpon realease eh tiba-tiba denger Abang yang sedang di ruang tengah heboh nanya seseorang di telpon, "Assalamu'alaikum teteh damang?" Sontak saya langsung bangkit dari acara rebahan di kamar dan berlari menuju Abang, "my daughter, isn't it?" Refleks saya bertanya sambil melihat ke arah ponsel Abang, sinyalnya kurang baik jadi gambar di vcall nya tidak terlihat jelas. 

I miss him so much.. 

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, ummi damang?" Satu suara yang sering kami nantikan di hari minggu ini menjadi bak setetes air di padang pasir, sangat menyejukkan. 

Belum sempat saya menjawab, Abang mendahului menjawab, "ummi sakit, Nak." Untungnya sinyalnya luplep jadi teteh tidak mendengar kalimat ini. 

"Sttt, jangan bilang teteh." Saya sering berbagi kabar pada siapapun tentang kondisi saya tapi saya ingin dia melihat saya dalam kondisi yang baik meski sulit menutupi sesuatu padanya, "syafakillah ya Mi. Teteh sayang ummi." Duhai hati ini.. 

Dia menceritakan kegiatannya hari ini, ziyadahnya dan.. kerinduannya. Bagi saya kabar baik adalah saat dia bersedia berbagi kabar hatinya apapun keadaannya. Kabar baik adalah ketika dia bertanya, "ummi, abi, damang?" MasyaAllah sungguh empati yang baik dalam pendengaran kami. 

Ah saya ingat diri saya sendiri selalu merasa cukup dengan melihat tanpa bertanya bagaimana kabar mamah. Pada emak saya bertanya, "emak damang?" Karena jarang bertemu tapi pada mamah hanya karena sering bertemu seolah kelu untuk bertanya kabarnya. Hanya karena melihat langsung bagaimana mamah.. Oh no, hati saya teriris dengan ingatan saya sendiri. 

Kenapa saya tidak bertanya kabar hati mamah sedangkan saya tahu bagaimana seluruh duka yang mengurai menjadi bahagia saat anak bertanya, "ummi, damang? Ummi hari ini sedang apa? Ummi ingin apa? Adakah yang membuat ummi sedih? Apa ummi sedang bahagia? Jangan menangis!" Dan lain-lain. 

Nak, ummi belajar banyak dari kalian dan ummi mengevaluasi diri juga karena kalian. 

Hal pertama yang selalu dia lakukan setelah bertanya kabar adalah, "sebentar ya Mi, teteh belum lihat status WA ummi." Seolah wajib baginya mekihat wa story umminya, "teteh merasa bisa melihat ummi melalui status ummi." 

MasyaAllah ๐Ÿคญ๐Ÿ’•๐Ÿ’•

"Apa kabar putri ummi? Bagaimana kabar hatinya hari ini?" Dia selalu menjawab bahwa kabarnya baik bahkan saat sedang sakit sekalipun. Sebenarnya teteh jarang sakit, kalaupun sakit paling flu ringan atau masuk angin atau masalah pencernaan ringan. Terakhir waktu positif cov19 tetap ceria dan mengatakan kalau dia baik-baik saja dan malah bersyukur karena Allah sepertinya memberinya kesempatan untuk menepi bersama Al Qur'an dan buku shirah. 

Tapi seorang ibu itu pendeteksi perasaan yang baik bagi anak-anaknya. Sejauh apapun atau serapat apapun anak-anak menutup ruang hatinya, ibu akan tetap tahu apakah buah hatinya sedang bahagia atau sebaliknya. 

Kalau saya lihat ternyata hatinya sedang murung maka akan saya ceritakan banyak hal yang membuatnya mau berbagi sedihnya, "tahu nggak teh, waktu ummi seusia teteh, ummi pernah lho begini dan begitu." Saya ceritakan kisah yang memalukan atau menyedihkan pada masanya lalu saya ceritakan padanya bagaimana saya keluar dari masalah itu agar dia bisa belajar membaca perasaannya sendiri lalu mengakuinya dan terakhir menghadapinya. 

Tidak perlu dihindari, hadapi saja! 

Bagi saya, sangat penting mengakui perasaan. "Kalian memiliki ummi, ceritakan apapun pada ummi dan izinkan ummi membasuh luka jika ada luka dihati kalian! "

Finally dia akan berbagi kabar peraasaannya, hanya rasa. 

Satu hal yang pantang diceritakan  adalah tentang kekurangan atau hal yang kurang menyenangkan dari orang lain. Ini adalah adab, menurut kami. 

"Ummi, jika suatu hari ummi bertemu kondisi seperti ini atau itu (sambil menjelaskan suatu keadaan), bagaimana sikap ummi? Apa yang akan ummi lakukan?" Sejak kecil dia memang selalu bertanya sikap yang akan saya pilih. 

Pernah di usia 9 tahun dia bertanya, "Ummi, kalau ummi kembali ke masa seusia teteh, apa yang ingin dan akan ummi lakukan?", atau, " Ummi, apa yang ingin ummi lakukan kalau ummi kembali ke masa lalu?", atau, "apa yang ingin ummi pelajari kalau ummi kembali ke masa usia ummi seusia teteh sekarang?" 

Semua jawaban saya saat itu kemudian menjadi pilihan sikapnya. Dia belajar lebih giat karena jawaban saya ingin belajar lebih giat, dia menghafal Al-Qur'an karena jawaban saya ingin menghafal Al Qur'an. Dia menjaga adab dengan lebih baik lagi setelah mendengar jawaban bahwa saya ingin lebih baik lagi dalam beradab, dan banyak jawaban lain yang kemudian justru menjadi kepribadiannya. 

Padahal saya hanya menjawab pertanyaannya, "jika itu ummi." Namun ternyata dia menjadikannya sebagai ibrah. 

"Teteh tidak tahu potensi teteh teh apa? Teteh ingin menggali potensi teteh. Teteh ingin jadi ahli sejarah, mi? Bagaimana menurut Ummi?"

Pertanyaan seperti ini biasanya ganti dari pertanyaan, "Mi, teteh itu seperti apa?" 

"I need you, Ummi. Teteh ingin sekali ada ummi disini." Sambungnya.. 

"MasyaAllah aduhai shalihah, ummi bangga padamu Nak. Di usiamu dulu kami fokus pada, "saya ingin seperti ini." Dan tidak membiarkan siapapun termasuk orang tua kami mencampuri pilihan kami. Kami juga tidak bertanya pada orang tua ataupun orang dewasa disekitar kami, kami hanya fokus pada keinginan kami sendiri dan berpikir itu jauh lebih baik untuk kami. 

Namun engkau, Nak. Engkau bertanya pada kami, MasyaAllah itu sungguh melegakan. Kembali kami memuhasabah diri kami, bagaimana adab kami pada orang tua kami. "

Mengenalnya selama hampir 14 tahun ini, 
Berbincang dengannya selama 30 menit setiap akhir pekan membuat kami belajar banyak hal tentang kehidupan terutama tentang adab pada orang tua. 

'Alaa kulli haal, Jazakumullah sekolah cendekia BAZNAS atas kesempatan mendengar sapa putri kami di setiap pekannya ๐Ÿ™๐Ÿป๐Ÿ™๐Ÿป๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒนโคโค
Balananjeur, 18 Juli 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku dan Buku