Selasa, 31 Agustus 2021
Rendang Jengkol
Senin, 30 Agustus 2021
Ghibah? Biarin Aja
Pernah Tinggal Sama Mertua (bagian 1)
Ulasan Biografi Umar bin Khattab
Nggak Boleh Mikir?
Minggu, 29 Agustus 2021
Untuk Anak-anak Ummi
Ada Yang Keliru
Fitrah Wanita
Pulanglah Santri Asal DKI
Setelah Vaksin Tahap 1 (Cerita Umar)
Sabtu, 28 Agustus 2021
Sebuah Jejak
Renungan
Mamah
Mari Ngobrol
Rabu, 25 Agustus 2021
Jangan hanya Diam!
Kajian Hari Ini
Ngajak de Olin Kajian
Minggu, 22 Agustus 2021
Di Lorong Ini
Sepanjang lorong ini terasa sepi padahal sebelum aku masuk ke ruangan bercat putih dengan jendelanya yang besar itu lorong ini dipenuhi banyak orang, banyak antrian pasien yang menunggu dipanggil untuk diperiksa.
Ku seka sepanjang koridor dengan
ujung netraku, hening menyapa erat seolah hanya aku dan laki-laki yang tengah
menatapku dengan sorotnya yang sendu disini.
Laki-laki itu membentangkan dua
tangannya bersiap merengkuhku dalam dekapan, isak perlahan menggema memenuhi
isi ruang. Rasa takut dan khawatir mulai memenuhi seluruh urat nadi, adakah
yang menghantui hati seorang ibu selain dari keselamatan anak-anaknya?
Terngiang pernyataan lelaki berjas
putih dengan stetoskop di tangan yang sekarang masih berada di balik dinding
ruang di depanku itu, bersiap menunggu keputusanku, “Teteh, ini untuk
kebaikan teteh, bayi ini harus segera dilahirkan!”
“Lalu bagaimana keadaannya, dok?
Bagaimana keadaaan bayi saya?” Aku tahu bahkan aku harus pedulikan keadaanku
sendiri, tapi yang terpikir dibenakku hanyalah bayi yang selama 32 minggu ini
mengisi rahimku. Aku tidak sanggup membayangkan dia dipaksa keluar hanya karena
aku apalagi menurut hasil pemeriksaan berat badan bayiku belum cukup aman dan
bahkan berpotensi menjadi bayi dengan kelemahan fisik, hal terburuknya adalah
hanya salah satu dari kami yang dapat bertahan.
Tangisku semakin menjadi, aku menangis
sangat keras seolah berharap segala gundah akan hilang menguap bersama air mata
yang luruh. Laki-laki didepanku memelukku semakin erat tanpa berucap
sedikitpun. Dadanya mengguncang dengan mata yang memerah duka, jika aku
khawatir keselamatan anak yang masih belum dapat ku lihat lain halnya dia yang
justru mengkhawatirkan keselamatanku. Aku tidak tahu diksi paling tepat untuk
meyakinkannya bahwa aku akan baik-baik saja, tangisku semakin pecah mengingat
duka yang ia pendam dalam diam.
Satu, dua. Dua jam lebih kami dalam
isakku di lorong ini, tanpa kata hanya suara isak beradu dengan lirih orang
berbincang dibalik ruangan didepanku.
“Aku tidak mau bayi ini terluka.”
Ucapku pelan. Dia mengusap kepalaku yang ditutupi jilbab navy dengan lembut.
Dia tidak berusaha menyela namun hanya membiarkanku menumpahkan kata demi kata
yang berkecamuk di dasar gelisah.
“Katanya, dia akan jauh lebih terluka
jika ia masih berada di sana. Namun, ia juga menjadi bayi yang rentan saat ia
dilahirkan sekarang. Apa yang harus aku lakukan? Aku takut.” Sungguh saat ini
yang kurasakan seputar rasa takut dan khawatir, menguraikannya dengan tangisan
dan pengakuan menjadi caraku meleraikannya Aku pun khawatir yang kurasakan akan
berpengaruh pada bayiku nanti.
Hatiku berkecamuk resah, aku takut
salah mengambil keputusan namun aku juga ingin lari dari kondisi ini, aku
menyesal datang ke tempat ini disaat aku bisa diam bertahan dengan segala sakit
selama ini.
“Kondisi kesehatan teteh semakin
melemah, teteh boleh mengatakan ataupun merasa teteh baik-baik saja. Tapi ini
sangat berpengaruuh pada bayi teteh.” Aha, dia pandai menyentuh sisi keibuan
dengan mengingatkan potensi luka yang hadir pada si bayi, itu cukup mengusikku.
“Persentase peluangnya?” Padahal
hidup tidak melulu tentang peluang dan kemungkinan, harusnya tidak kutanyakan
hal seperti itu kalau tidak ingin terluka, namun tetap saja kutanyakan dengan
alasan sebagai pertimbangan.
“ InsyaAllah akan kami usahakan yang
terbaik.” Jawaban itu cukup absurd bagi seseorang yang sedang mengais gelisah
sepertiku.
“Berapa dok?” aku masih mengejar
dengan pertanyaan yang tak perlu. Seorang ibu akan bersikap tidak biasanya dan
berusaha melakukakn apa saja dan mencari segala kemungkinan yang bisa
menyelamatkan buah hatinya bahkan saat si buah hati masih berupa janin yang
bersemayam di rahim.
“Keselamatan ibunya adalah yang
utama.” Ini jawaban yang paling tidak ingin ku dengar, sekuat apapun aku
berusaha untuk tegar dan tidak menampakkan sakit, aku kalah dengan kalimat itu,
aku terpuruk untuk sesaat merasa semua yang dilakukan akan sia-sia kalau toh
satu hanya aku yang diprioritaskan. Bagaimana dengan bayi mungil yang kucintai
lebih dari diriku sendiri? Aku tidak ingin kehilangan dia demi mempertahankan
kehidupanku sendiri.
Setelah sekian lama berkawankan
bimbang, air mata pun seolah mengering dan aku tidak memiliki tenaga untuk
menangis ataupun berkata-kata. Energiku seolah habis, aku pun memilih
menyandarkan punggung ke dinding dibelakang kursi tempatku duduk saat ini.
Laki-laki di depanku membuka tas punggungnya denga satu tangan sedang tangan
lainnya masih menopang kepalaku, dia mengambil botol berisi air mineral lalu
membukanya dan menyodorkannya ke arahku, ya se resah bagaimanapun aku harus
tetap minum. Aku pun minum beberapa teguk air mineral yang cukup untuk menyeka
tenggorokan yang kering usai menangis.
Dia kembali menutup botol air dengan
tutupnya dan menyimpannya tepat disampingku, tak ssepatahpun kata diucapkan.
Hanya wajah yang pucat masih bisa ku lihat darinya, ia berwajah pucat saat
berduka. Ada bening di pelupuk matanya, dia pun sama berdukanya denganku.
Ku ambil nafas pelan berusaha
menenangkan pikiran dengan cara itu, setelah beberapa menit berlalu aku pun
mulai menemukan energiku kembali, “Antar aku ke masjid, aku belum shalat
dzuhur!” Aku baru ingat kalau aku belum shalat,
Dia berdiri dan memapahku ke masjid
yang terletak beberapa meter dari tempat kami duduk, mengantarku ke tempat
wudhu hingga menungguiku. Dia sendiri sudah mendirikan shalat saat aku berada
di ruang pemeriksaan beberapa jam yang lalu, jam sudah hampir masuk waktu Ashar
namun aku baru mau melaksanakan shalat dzuhur, ah pantas saja hatiku diselimuti
resah karena ternyata ada shalat fardhu yang belum ditunaikan.
Aku sengaja memanjangkan sujudku
meminta padaNya membantuku menyelesaikan urusanku, kembali menangis namun kali
ini tangis pengharapan pada sang pemilik kehidupan. Usai shalat aku berdzikir
dan merenung cukup lama, membiarkan diri berkomunikasi menghiba padaNya.
Sejak awal aku sudah tahu kondisi kesehatanku
di uji dengan penyakit yang lumayan berat, masalah jantung dengan autoimun
cukup berat untuk seseorang dengan gangguan lambung kronis, dokter pun sudah
mengatakan kalau kehamilan dan persalinan normal sangat beresiko untukku.
Tetapi setelah dua kali melahirkan dan baik-baik saja, kupikir aku memang
baik-baik saja meski memang hampir setiap waktu aku merasakan sakit diubuhku
semakin menjadi. Aku bahkan semakin sering merasa sesak dan kehilangan
kesadaran, tapi aku berusaha menutupinya dengan berusaha terlihat baik-baik
saja meski aku tidak bisa membohongi diriku sendiri dengan sakit yang
kurasakan.
Berat badanku turun setiap harinya
sampai-sampai dokter setengah bergurau mengatakan kalau aku tetap seperti ini
maka artinya aku tidak menyayangi anak-anakku. Oh iya ini persalinan ketiga ku
ssetelah dua kali sebelumnya melahirkan dua anak laki-laki dengan jarak
kelahiran masing-masing 2 tahun,
sulungku saat ini berusia 4 tahun, anakku yang kedua berusia 2 tahun dan
sekarang aku sedang menantikan anak ketiga yang diprediksi perempuan. Bayi ini
akan menjadi bayi perempuan pertamaku, aku sangat ingin bertemu dengannya dalam
kondisi terbaik, kondisi terbaikku dan kondisi terbaiknya. Ah, airmataku
kembali luruh.
“Robbana, lapangkan hati atas apapun keputusanmu!” aku mulai memasrahkan diri. Aku takut memilih berdasar ego semata tanpa memperdulikan hal-hal lain yang harus diprioritaskan.
Sabtu, 21 Agustus 2021
Kegiatan De Olin
Jumat, 20 Agustus 2021
Melacak Paket
Kamis, 19 Agustus 2021
Rezeki, Penjengukan
Mengapa
Separuh Hatinya
De Olin yang Kepo
Saat Motor Mogok
Ba'da Maghrib
Berangkat
-
Ada 3 perkara yang pahala kebaikannya tidak akan pernah terputus dan akan selalu mengalir meski tubuh kita telah kembali menyatu...